Bagi sebagian orang, yang namanya ‘melamar kerja’ atau mencari kerja itu adalah suatu hal yang membutuhkan suatu keuletan dan kesabaran yang tinggi.

Kenapa demikian?

Sebagian orang pastinya akan dan pernah mengalami situasi ini. Mungkin hanya segelintir orang yang ‘beruntung’ saja yang tidak mengalaminya. Ya, mungkin ada yang sudah ditunggu pekerjaan karena prestasinya, mungkin ada yang sudah ditunggu pekerjaan karena warisan, ataupun situasi yang lain.

Nah, bagi kita yang ‘kurang beruntung’, mestinya harus menyiapkan 1001 cara dan strategi untuk mendapatkan pekerjaan, disamping harus ditunjang dengan do’a yang wajib hukumnya, apalagi do’a orang tua kita.

Saya akan mencoba sedikit menceritakan apa yang dialami teman saya, dan apa yang ada silakan mengambil hikmah dan pelajaran sendiri jika memang dirasa ada. Karena mungkin setiap orang bisa berbeda persepsi dan penilaian.

Begini lho….

Saya punya teman, dia itu udah lulus kuliah sekitar tahun 2006. Awalnya dia tidak berfikir untuk mencari kerja pada orang lain, maklum aj karena saat itu dia memiliki usaha kecil-kecilan yang mampu menopang hidupnya selama masa pertengahan kuliah sampai lulus. Walaupun mungkin tidak cukup besar untuk bisa menabung dan memberi sedikit kepada orang tuanya. Apalagi, dari keluarganya tidak ada yang namanya kerja dengan orang lain. Pinginnya sih mandiri, wiraswasta…

Nah, cerita berlanjut setelah beberapa waktu. Dia akhirnya merasa risih juga, setiap pulang kampung ditanya sama keluarga, tetangga atau temannya. Pertanyaannya sederhana, namun mungkin jawabannya yang menyusahkan seorang lulusan Sarjana sekalipun.

Kamu kerja dimana? Sebagai apa?

Sederhana bukan? Kalau dilihat dari susunan kalimat memang sederhana, kalimat tersebut dinamakan kalimat tanya yang terdiri dari SPO. Waduh, kok sampai mbawa-mbawa pelajaran Bahasa Indonesia sih…. hehehe nggak apa-apa, karena katanya kalimat tanya ini sederhana, namun bisa menyesakkan orang banyak. Jadi saya harap Anda berhati-hati dengan kalimat ini ya…

Akhirnya teman saya befikir, saya sudah kerja, walaupun mungkin tidak seperti bayangan kebanyakan orang, saya sudah bisa makan dari hasil keringat saya sendiri, tapi kenapa begitu berat untuk menjawab pertanyaan itu?

Maklum aj, sudah menjadi mafhum bagi orang di pedesaan kalau seorang akan dipandang berhasil jika bisa bekerja di sebuah institusi atau perusahaan yang dikenal oleh orang. Dan sebaliknya, akan memudahkan bagi orang yang bersangkutan untuk menjawabnya dengan wajah yang terangkat tidak menunduk.

Akhirnya teman saya mencoba mencari lowongan kerja yang barangkali saja bisa di apply. Setiap makan di warung, dia lebih lama membolak-balik koran dari pada makannya. Dan singkat kata, suatu saat dia menemukan lowongan kerja sebagai Guru Komputer di sebuah SMK Swasta. Dengan langkah pasti akhirnya dia mengajukan lamaran, dan diterima sebagai pengajar di SMK tersebut. Mungkin keputusan ini jarang dan tidak semua orang melakukannya, kenapa? Dia harus berangkat mengajar 3x dalam seminggu, dan dalam sehari datang, dia minimal harus mengajar selama 6 jam pelajaran. Jika dihitung mungkin dia akan mendapatkan honor yang cukup, tapi tidak demikian, dia hanya mendapatkan honor sekitar 98 ribu untuk satu bulan. Bayangkan, dia harus berangkat dari tempat tinggalnya naik angkutan, sekali pulang pergi membutuhkan ongkos sebesar 12 ribu. Jadi total untuk ongkos angkutan saja, dia mengeluarkan minimal 150 ribu. Artinya dia tidak bekerja untuk mencari uang tapi dia kerja bakti.

Yah, gimana lagi, kontrak sudah tidak dibatalkan, kalo mau membatalkan dia harus mencarikan ganti, mana ada gantinya yg mau?? Terpaksalah dia membayar mahal untuk sebuah status sebagai jawaban kepada orang lain. Susah memang….

Sambil berusaha mencari peruntungan lain, dia beberapa kali mencoba ikut tes CPNS. Pertama, dia ikut di daerahnya, namun karena didaerahnya tersebut sarat dengan KKN, maka dia tidak lolos seleksi administrasi. Kemudian, tahun berikutnya, dia ikut tes CPNS di institusi lain, pada kali ini dia agak beruntung, karena dari tes tahap pertama, dia termasuk 3 orang yang lolos dan mengikuti seleksi tahap 2. Namun lagi-lagi karena sarat dengan KKN, dia akhirnya harus mengelus dada. Pada tahun ketiga, dia mencoba ikut lagi, dan mungkin ini kali yang perlu diwaspadai…

Wah kok diwaspadai segala sih??

iya, karena dia ikut seleksi CPNS, karena tidak ada sedikitpun niat untuk ikut apalagi diterima. Dia sebenarya sudah diterima pada sebuah perusahaan swasta, dan kebetulan saat itu teman akrabnya mungkin ingin mencoba ikut CPNS. Temannya tersebut mengajak dia untuk mengikuti tes CPNS. Ya namanya teman akrab, kerja sekantor, tinggal serumah, tidur sekamar, kemana-mana selalu berdua. Dia terpaksa mengikuti keinginan temannya itu. Pertama-tama dia membaca syarat ketentuan CPNS saja dia sudah salah. Gimana tidak, biasanya kan tes CPNS itu, disebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi, mungkin point 1-14, dan baru membaca syart sampai poin 10 saja dia sudah bingung. Dia harus mengurus macam-macam surat keterangan, padahal dia sekarang bekerja di perusahaan. Tidak mungkin baginya meninggalkan jam kerja hanya untuk mengurus surat-surat tersebut. Dia memutuskan untuk tidak ikut seleksi. Namun, entah kenapa, saat tanggal akhir, kurang 4 hari, dia ada keinginan untuk membaca ketentuan lagi, nah…. disini dia baru tahu, kalau dia kurang teliti membacanya. Ternyata, syarat poin sekian sampai terakhir, dipenuhi jika seseorang dinyatakan diterima. Dengan demikian dia memenuhi syarat untuk mengikuti seleksi administrasi.

Berlanjut….

Melamar Kerja (2)…