Mengajar adalah sebuah profesi yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah memiliki kualifikasi yang ditetapkan. Jika suatu pekerjaan itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu yang ditetapkan, maka itulah yang disebut profesi.

Sama halnya dengan dokter, pengacara, dan sejenisnya. Maka pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang tanpa kualifikasi yang ditetapkan. Berbeda dengan pekerjaan penyapu jalan, kuli panggul di pasar, ataupun yang sejenisnya.

Pendidikan bertujuan untuk memberikan pengalaman kepada peserta didik untuk bekal dalam kehidupannya. Jika kita pada waktu SD mungkin masih ingat dengan istilah “Belajar Mengajar”, kemudian pernah kita dengar juga istilah “Kegiatan Belajar Mengajar”, adalagi “Proses Belajar Mengajar” dan mungkin ada “Pembejalaran”. Apapun itu istilahnya, namun intinya adalah proses memberikan pengalaman kepada peserta didik sebagai bekal dalam kehidupan peserta didik di masyarakat.

****

Sebuah fenomena yang mungkin tidak asing lagi adalah…

Banyak lulusan yang ketika kuliah menggambil peminatan bidang ilmu murni, namun ketika lulus atau beberapa saat setelah bekerja ditempat lain, lulusan tersebut banting setir mengajar. Diantaranya bahkan diangkat menjadi PNS. Di sisi lain, ketika kuliah, mengambil ilmu pendidikan, namun ketika lulus, tidak mengajar sesuai kompetensi yang dipelajari. Tidak jarang juga, mahasiswa yang mengambil peminatan bidang pendidikan pada awalnya, bahkan mungkin sampai lulus tidak memiliki ‘keinginan’ untuk menjadi guru setelah lulus.

Pada situasi lain, ketika perekrutan CPNS mulai tahun 2009, ketika bidang Infomation and Technolgy berkembang dengan pesat, banyak dibuka CPNS dengan kualifikasi pengajar ilmu komputer ataupun teknik komputer. Bersamaan dengan itu, bahkan sampai saat perekrutan CPNS digelar, di perguruan tinggi PTIK belum dibuka program Pendidikan Teknik Informasi ataupun Pendididikan Teknik Komputer. Kalaupun ada, mungkin baru satu ataupun dua perguruan tinggi saja.

Dengan keadaan ini, semakin banyak sekali lulusan ilmu murni yang kemudian mengambil program Akta IV untuk bisa memenuhi syarat kualifikasi yang diinginkan.

Yang menjadi pertanyaan saya selama ini adalah: Bagaimana ini bisa terjadi?

Apakah tidak ada koordinasi dan perencanaan pada dunia pendidikan di Indonesia yang bisa menghindari seperti ini?

Saya juga tidak tahu, apakah ini menjadi salah satu faktor yang akhirnya melahirkan dua macam guru?

Ah….. ini bukan urusan saya….

Ah…. ini bukan domain saya….

Ah… Ah… apa yang terjadi??

Bagaimana ini???

Sebegitu anehkah managemen pendidikan kita?

****

Belum lagi fenomena yang aneh dan mengelikan lainnya…

Ketika saya pulang kampung, sekitar sebelum tahun 2009. Saya banyak mendengar cerita yang menurut saya aneh, ya aneh. Anda mungkin akan sangat ingat ketika itu ada kabar bahwa semua pengawai honorer/wiyata bakti akan diangkat sebagai PNS sebelum tahun 2009. Begitu kuatnya kabar ini, hingga di desa-desa terjadilah fenomena ini.

Banyak oknum pegawai negeri di sekolah negeri, berlomba-lomba memasukkan kerabatnya sebagai pegawai honorer atau wiyati bakti. Bahkan lulusan SMA aj banyak yang dimasukkan sebagai guru di SD. Padahal, mereka mungkin cuma mendapat honorer kurang dari 2oorb per bulan selama belum diangkat sebagai CPNS. Sampai sekarang, saya tidak tahu apakah mereka semua benar-benar diangkat sebagai CPNS ataukah tidak?

Dari contoh di atas saja, bisa diketahui, begitu kuatnya magnet di dunia pendidikan, sampai-sampai orang yang awalnya tidak tertarik, menjadi sangat terpikat.

Mudah-mudahan manisnya di dunia pendidikan membuahkan hasil yang manis bagi bangsa dan negara.